
Sistem pendidikan di Indonesia
Sistem pendididikan yang hadir di Indonesia memiliki nafas yang sama dengan penguasa yang sedang berada di pucuk pimpinan. Artinya siapa yang berkuasa maka itu akan mempengaruhi sistem pendidikan yang ada. Jika kita tinjau secara kesejarahan maka kita akan menemukan perubahan-perubahan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak terlepas dari ekonomi politik global.
Sejak masa pra-kolonial sistem pendidikan di Indonesia atau di Nusantara pada saat itu lebih mengedepankan sisi afeksi dan psikomotor, sebab situasi pada saat itu, masa kepemerintahannya bercorak monarki atau kerajaan-kerajaan. Maka capaian daripada pendidikan tersebut mencetak rakyatnya supaya mampu menghormati dan militan kepada rajanya.
Dimasa kolonial sistem pendidikan yang berlangsung itu terpecah menjadi dua, yakni pendidikan sekuler yang dibawa oleh kaum kolonial Belanda yang memprivatisasi akses pendidikan tersebut, hanya beberapa kaum bangsawan yang mampu mengakses sistem pendidikan ini. Kemudian pendidikan yang gagas atau dipelopori oleh kaum pribumi, yang akrab kita kenal dengan ”sekolah rakyat” dan ”pesantren” adalah sistem pendidikan yang bertujuan untuk bagaimana rakyat mampu mengakses pendidikan yang seirama dengan pendidikan sekulernya Belanda.
Pasca revolusi pada tanggal 17 Agustus 1945 sistem pendidikan pun ikut berganti arus, dengan penekanan kepada jiwa yang patriot dan anti kolonial menjadi ruh dari sistem pendidikan pada masa ini. Sukarno yakni presiden pertama Indonesia yang menginisiasikan sistem pendidikan ini. Bahwa bagaimana rakyat Indonesia mampu berdaulat diatas kakinya sendiri tanpa bergantung kepada negara-negara barat. Sistem pendidikan ini dibalut dengan kurikulum yang bernama ”Rencana Pelajaran” pada tahun 1947.
Pasca keruntuhan orde lama, dan terbitlah pemerintahan yang terpimpin oleh orde lama. Sistem pendidikan pun ikut berganti sesuai dengan nafas masa kepemimpinan penguasa. Pada masa ini sistem pendidikan menggunakan kerangka ekonomi yang berkolaborasi dengan sekutu dan mengatur aspek politik nasional. Pada era ini selama 32 tahun kurikulum pendidikan pun berganti-ganti sesuai dengan kebutuhan zaman. Kemudian pada tahun 1995 Indonesia terlibat dalam perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services) yang berisikan tentang apa saja yang bisa di perjual-belikan. Salah satunya adalah pendidikan. Maka para investor asing berbondong-bondong untuk kemudian berinvestasi ke pendidikan yang ada di Indonesia. ini adalah cikal daripada kenyataan pendidikan yang ada pada masa sekarang.
Setidaknya pendidikan kini mengikut pada mekanisme pasar yang diawali oleh sistem pendidikan pada masa orde baru. mekanisme ekonomi kapitalisme yang menjadi suatu gagasan ekonomi yang digunakan oleh orde baru mampu berdampak buruk dalam jangka panjang, sebab ekonomi kapitalisme akan terus memberikan efek destruktif kepada stabilitas politik nasional. Kini sistem pendidikan masih menyesuaikan dengan mekanisme pasar global, kurikulum ”Merdeka Belajar” masih saja belum menemukan titik terang dan mencapai hakikat dari klausul yang diusungnya.
Hal ini tidaklah terlepas dari situasi ekonomi politik dunia, wallerstein menggagas teori sistem dunia yang mengklasifikasi posisi dan peran negara. Indonesia adalah negara bekas jajahan yang terletak pada negara ketiga, atau wallerstein sebut sebagai negara semi perypery yang tertuntut oleh situasi untuk berkiblat pada negara pemenang perang dunia kedua. Maka ini adalah cikal mengapa orde baru melaksanakan politik demikian, dan menyesuaikan pendidikan pada ekonomi pasar hingga saat ini masih dipertahankan.
Efek Domino Sistem Pendidikan di Indonesia
Seperti yang sudah penulis urai di atas, bahwa pendidikan akan sangat berpengaruh pada kondisi sosio-kultural rakyat dalam menjalankan kehidupannya. Rakyat menjadi begitu terbentuk semangat patriotnya dan anti kolonial sebab sistem pendidikan pada orde lama menghendaki hal demikian. Pun dalam sistem pendidikan pada era orde baru, Rakyat tergugah untuk mampu menjadi masyarakat pekerja industri, tentara, dan bekerja di wilayah kesehatan. Sebab orde baru menghendaki itu semua.
Sistem pendidikan pada masa sekarang masih membuntut pada arus mekanisme pasar, dengan dikemas oleh kurikulum ”Merdeka Belajar” yang membebaskan peserta didik pada apa yang dikehendakinya. Sepintas kurikulum tersebut berpihak pada kebebasan rakyat, namun pada kenyataannya terdapat satu dimensi yang banyak tidak disadari oleh rakyat Indonesia. Menurut Helbert Marcuse dalam bukunya ”One Dimensional Man” membahas mengenai pola komunikasi yang telah kehilangan daya erotisnya. Daya erotis ini adalah perpaduan antara hubungan fungsional dengan seksualitas (kecenderungan). Bahwa pada masa kini, pola fungsional mesti didikotomi dengan seksualitasnya. Yang oleh Habermas sebut sebagai intervensi ilmu alam pada aktivitas sosial. kemudian seksualitas atau kecenderungan telah direduksi pada hubungan seksual dan aktifitas konsumsi yang mengarah kepada produksi industri melalui pantikan sosial media, iklan-iklan, beserta lembaga-lembaga kekuasaan.
Berangkat dari hal diatas, kebebasan yang ditawarkan oleh kurikulum ”Merdeka Belajar” adalah suatu stimulus kebudayaan yang mengarah kepada sirkulasi industri. Sebab peserta didik telah terpolarisasikan untuk kemudian bekerja di Industri. Selain itu pula rakyat didorong untuk menjadi masyarakat konsumerisme, yang menurut Helbert Marcuse terdapat dua kebutuhan, yakni; kebutuhan langsung suatu kecenderungan psikologi agar ingin membeli sesuatu dan kebutuhan nyata adalah kebutuhan dasar untuk hidup. Dalam realitas kini, kebutuhan nyata telah direduksi oleh kebutuhan langsung. Maka pola hidup masyarakat industri adalah kerja-belanja-menikah-mati. Hal demikian akan semakin menjauhkan diri dari medan sosialnya, akan semakin mengalienasi dirinya dari persoalan sosial. ini menjadi suatu tujuan ideal peserta didik.
Selain daripada itu, bahwa dalam realitasnya lembaga pendidikan untuk mampu mencapai tingkatan akreditasi yang baik dan tersemat pada instansi, acapkali ditempuh dengan metode yang manipulatif. Sebagai contohnya jurusan TBI (Tadris Bahasa Indonesia) yang ada di UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang hendak mencapai akreditasinya dengan menutupi persoalan-persoalan yang hadir. Kasus kekerasan seksual tidak ditanggapi dengan serius dan cenderung menutup-nutupinya dengan dalih mengamankan akreditasi. Hal tersebut tidaklah sebanding antara akreditasi yang dicapainya dengan kondisi sosial mahasiswa yang ada didalamnya.
Kaitannya dengan hal itu, bahwa peserta didik khususnya mahasiswa memiliki peran besar dalam kebudayaan dan kondisi sosial masyarakat untuk menjadi ujung tombak dari perkembangan kebudayaan dan nasib bangsa. Mengingat bahwa angkatan muda adalah penerus estafeta kepemimpinan bangsa maka mesti dididik dengan ilmu pengetahuan yang berpihak pada situasi sosial untuk mampu menjawab persoalan-persoalan yang ada di dalamnya.
Pada kenyataan yang sedang bekerja ini, bahwa peserta didik semakin dijauhkan dengan persoalan kehidupan, maka jika hal ini lestari, masa depan bangsa akan terhantar pada pintu gerbang kematiannya. Bangsa akan terus terjajah namun dengan gaya yang lebih canggih lagi. Kedaulatan bangsa akan tersisa menjadi jargon-jargon usang.
Posisi Indonesia Dalam Lanskap Global
Pasca perang dingin berakhir, Uni Soviet mengibarkan bendera putihnya. Kemenangan berlabuh pada negara-negara sekutu yang menyongsong Liberalisme-Kapitalisme. Nasib bangsa-bangsa bekas jajahan dalam rangka memperbaiki ekonomi negaranya mesti berlindung dan terlibat merapat pada negara-negara menang.
Seperti yang sudah kita urai diatas, bahwa Wallerstein dalam teori sistem dunianya mengklasifikasikan peran dan posisi negara-negara. Indonesia merupakan bagian daripada negara bekas jajahan, yang mengharuskan dirinya secara konsekuensi logis mesti merapat pada negara sekutu secara ekonomi. bahwa struktur dalam masyarakat oleh Marx dibagi menjadi dua, yakni; suprastruktur (lembaga-lembaga resmi dan yang terkecil adalah keluarga) dan basic struktur (ekonomi). Suprastruktur akan senantiasa dipengaruhi oleh basic struktur.
Maka ketika Indonesia mengikuti nafas Liberalisme-Kapitalisme sebagai konsekuensinya suprastruktur yang ada di Indonesia akan senantiasa dipengaruhi oleh Liberalisme-Kapitalisme. Artinya lembaga pendidikan di Indonesia akan menyesuaikan dengan gaya ekonomi yang digunakan oleh Indonesia. perjanjian GATS adalah indikator konkretnya, bahwa pasca perjanjian itu, Indonesia memperbolehkan untuk memperjual-belikan pendidikan. Para investor tidak segan-segan untuk kemudian berinvestasi dalam dunia pendidikan. Mereka akan masuk pada regulas kurikulum yang menguntungkan si investor. Maka tak heran bila pendidikan kini tidak secara serius untuk mendidik para peserta didik. Ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu positif atau menurut Habermas adalah instrument knowledge. Lembaga pendidikan nasional hanya mengantarkan peserta didik pada sirkulasi ekonomi industri yang tidak mendidik bagaimana peserta didik memiliki nalar kritis untuk bekal kehidupannya. Pendidikan merubah dirinya menjadi industri manusia, tempat memproduksi sumber daya yang akan didistribusikan sebagai komoditi.
Indonesia mesti mampu menyusun ulang paradigma berbangsanya, sebab hal tersebut akan mempengaruhi sistem pendidikan yang berlaku. Jika kemudian kita mengidamkan sistem pendidikan Finlandia yang begitu masif dalam mekanismenya, perlu kita tinjau ulang secara basis ekonominya. Bahwa negara Finlandia telah selesai dengan persoalan ekonominya. Maka mereka akan tenang untuk kemudian menyusun sistem pendidikan yang hendak diberlakukan, keterfokusan akan menusuk kepada peserta didik, untuk peserta didik.
Secara basis ekonomi, Indonesia belum mampu untuk berdaulat diatas kakinya sendiri, mereka masih membutuhkan rangkulan dari negara-negara besar dan para investor-investor asing. Akibatnya Indonesia tidak akan mampu fokus untuk merumuskan sistem pendidikan yang berhaluan kepada rakyatnya.
Simpulan
Telah kita ketahu bersama bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih jauh dari ideal, sebab secara ekonomi dan politiknya masih saja mau diintervensi oleh bangsa asing dengan membawa kepentingan-kepentingan yang bersifat kontra-revolusioner. Indonesia masih belum berani untuk berdaulat di atas kakinya sendiri. Hal demikian menjadi basis sistem pendidikan yang dari masa ke masa selalu meleset dengan apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya.
Guru yang selalu disibukan dengan persoalan administrasi hingganya keterfokusan untuk mendidik peserta didiknya kabur, peserta didik yang ditekan untuk menguasai semua ilmu pengetahuan yang disajikan tanpa dilibatkan dalam perumusannya. Pemerintah penanggung jawab pendidikan sibuk membaca kebutuhan pasar yang terus berganti-ganti, hingganya hampir tiap tahun formulasi kurikulum di ganti-ganti tanpa ada pengawalan yang begitu serius.
Ketidakselesaian sistem pendidikan di Indonesia menciptakan pola fikir yang tidak selesai pula di kalangan peserta didiknya, kekaburan dalam membaca kenyataan, serta orientasi hidup yang disusun atas faktor tren yang sedang berkembang masif terjadi. Cita-cita hidup dan orientasi belajar peserta didik tidak mampu oleh pemerintah susun sesuai dengan kebutuhan real mereka, hingganya tersusun oleh iklan-iklan dan media sosialnya yang tidak lain hal itu mengantarkan mereka kepada proses dehumanisasi.
Indonesia mesti menyusun ulang formasi politiknya dengan cermat, yang sesuai dengan kebutuhan rakyatnya. Sebab rakyat adalah tujuan dari politik yang diselenggarakan. Sebab kejelasan politik akan menjelaskan pula sistem pendidikan, dan sistem pendidikan yang jelas akan membangun kebudayaan yang lebih luhur sesuai dengan kebutuhan bangsanya, kejelasan sistem pendidikan akan membantu rakyatnya melaksanakan amanah revolusi agustus, menghantarkan bangsa kepada pintu gerbang kemerdekaan baik secara materil maupun spirituil.
Daftar Pustaka
Aidit, D. (1963). Tentang Marxisme. Jakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham.
Althusser, L. (1970). Lenin And Philosophy and Other Essays. New York: Monthly Review Press.
Blakeley, s. (den 21 November 2023). Wallersteins World Systems Theory | Definition & Examples. Study.com.
Engels, F. (1972). The Origin Of The Family. New York: International Publishers.
Habermas, J. (1984). The Theory Of Communicative Active. Boston: Beacon Press.
Kristeva, N. (u.d.). Hand Out Kaderisasi.
Suseno, F. M. (2013). Dari Mao ke Marcuse. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
The General Agreement on Trade in Services (GATS): objectives, coverage and disciplines. (u.d.). World Trade Organization, https://www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/gatsqa_e.htm.
Wibawana, W. A. (2024). Daftar Nama Kurikulum Pendidikan yang Pernah Diterapkan di Indonesia. Detik.com.

Tinggalkan Balasan