Pendidikan RAPUH, Rakyat RIPUH, Sri Mulyani ANGKUH!

Pendahuluan

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat menentukan tumbuh-kembangnya wajah bangsa, yang mana para anak bangsa dididik tentang nilai-nilai luhur dalam kehidupan, selain dari itu, mereka diajarkan untuk mampu mengoptimalkan potensi berfikirnya, sebagai alat survive meghadap zaman yang terus menantang. Kemudian dalam pendidikan, anak bangsa dipantik untuk mampu menumbuh-kembangkan minat dan bakatnya, guna mampu bereksistensi ditengah pergaulan hidup yang sikut-meyikut ini. 

Mengingat pendidikan memiliki kedudukan yang begitu penting dalam aktivitas manusia, karena ini menentukan corak zaman kedepannya akan seperti apa. Pintar bodohnya anak bangsa ini ditentukan oleh pendidikan itu sendiri. Pendidikan disini bukanlah sesempit pendidikan dalam konteks kelembagaan, namun pendidikan disini adalah sesuatu yang bergerak dalam ruang kultur yang menyehari. Baik-buruknya, pintar-bodohnya, bijak-serampangannya anak bangsa ini ditentukan oleh proses pendidikannya dalam hidup. 

Berikutnya, penulis akan urai persoalan yang kini hangat terkait agenda penambahan anggaran belanja mobil pejabat negara, yang kemudian akan kita sandingkan keberjalanan aturan tersebut dengan aspek sosiologis yang berelasi dengan efek-efek dari pendidikan (lembaga pendidikan).

Balada pemerintahan negara Indonesia

Setidaknya bisa kita lacak,  konsepsi konstitusi di negara Indonesia diawali sejak revolusi Agustus 1945. Meskipun pada mula-mulanya masih belum sempurna, namun hal itu terus megalai perkembangannya, terlebih saat era orde baru yang membawa perkembangan konstitusi dan perangkat-perangkat negara pada lompatan yang lebih tinggi lagilagi yang mengubah wajah kepemerintahan kita. 

Perkembangan struktur internal negara sampai saat ini terus berjalan, namun ada satu hal yang hanya sedikit tersentuh atau bahkan sama sekali tidak menjadi perhatian, yakni karakter individu para penerintah. Hal demikian sebetulnya sempat terbit pada era orde lama, namun tidaklah sampai pada hasil yang begitu signifikan, memanglah gonjang-ganjing politik yang ditunggangi kepentingan asing menjadi faktor yang cukup mempengaruhi. Sehingga halnya pembentukan karakter bangsa, khususnya elit pemerintah tidak bekerja secara signifikan. 

Pada masa orde Baru, alih-alih meneruskan amanah revolusi, justru di dalam penerintahannya lebih mesra dengan apa yang ditentang oleh keperintahan sebelumnya, yakni negara-negara sekutu. Karakter bangsa terhegemoni pada arus globalisasi yang membuat rakyat terpaksa mengikuti logikanya. Jika tidak.. Mati atau hilanglah sudah. Karakter globalisasi ini ditopang oleh logika ekonomi, maka ini berkonsekuensi untuk rakyat hidup dalam pencaharian ekonominya, mencipta pola hidup yang berkonotasi pada diri dan kelompok dengan seminim-minimnya kepedulian sosial. Corak demikian terus bersarang hingga menghujam dan menguat sampai sekarang. Pola individual ini merasuk pada tubuh banyak para pemerintah, yang mana hal ini adalah rentan untuk menyalah-gunakan kekuasaannya. 

Kini sedang hangat diperbincangkan bahwa Kementerian Keuangan menetapkan satuan biaya untuk pengadaaan kendaraan dinas pejabaat eselon I naik sekitar Rp 52 juta pada tahun anggaran 2026, sehingga menjadi Rp 931,6 juta per unit. Setidaknya pejabat eselon I ini sebanyak 700 (dibulatkan) maka 712 x 931 juta = 662 Miliar

Kaitannya hal itu, kini presiden prabowo tengah meyatakan sikap disiplin kepada para menterinya untuk mampu menjaga dan meyalurkan sirkulasi ekonomi, banyak dari APBN para menteri yang dipangkas guna menghemat pengeluaran, demi tujuan kemajuan negara Indonesia. Bahkan programnya presiden Prabowo sekalipun ikut terkena pangkas, yakni program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang pada awalnya untuk porsi itu 10 ribu ripuah kini menjadi 8 ribu rupiah. 

Kita ketahui bersama bahwa program di atas sebagai bentuk merawat pertumbuhan anak bangsa demi mencapai tujuan nasional Indonesia. Bawa kesehatan para anak bangsa akan mempengaruhi proses perkembagan dalam pebelajarannya, serta untuk menumbuhkan jiwa nasonalisnya. Hal demikian akan lebih efektif apabila program ini semakin merata ditiap penjuru negeri, namun hal ini megalami sendatan ekonomi yang tarik-menarik. 

Mari kita berhitung, jika agenda belanja pejabat eselon I itu sebanyak 662 Milliar maka mari kita bagi dengan harga satu porsi makan anak bangsa sebanyak 8 ribu rupiah, 662 milliar ÷ 8 ribu rupiah = 82,8 juta. Artinya harga total dari anggaran mobil pejabat mampu memberi makan anak bangsa sebanyak 82,8 juta anak. Namun tampaknya pantat para pejabat lebih penting untuk dijaga kesehatannya, sehingga pemerintah lebih memilih untuk mebeli mobil baru ketimbang memberi makan ana bangsanya. Hal ironis, pertanyaannya, seberapa banyak rakyat Indonesia yang mengetauai hal ini? Apakah mereka memang sepakat dengan mekanisme demikian? Ataukah mereka tidak sadar hal ini terjadi? 

Sistem pendidikan Indonesia

Kita ketahui bersama bahwa sistem pendidikan di Indonesia telah dibajak oleh kepentingan ekonomi, pendidkan telah diperkosa oleh ekonomi. (Baca: perjajian GATS) hingganya hal ini meyebabkan terdistorsinya tujuan dari pendidikan itu sendiri, tampaknya kini dalam aktivitas proses pembelajaran baik seorang guru maupun murid menganggap aktivitas tersebut sebgi formalitas belaka, sejak dari pebelajaran yang terlalu meyajikan ilmu positivistik yang sampai lupa atau engga untuk mendidk prinsip para murid. Hal demikia hadir dalam meja perguruan tinggi, yang melaksanaka pebelajaran haya sekedar bertujuan untuk wisuda, dapt gelar, kemudian kerja. Hal demikian adalah proses kering yang tidak sama sekali menumbuhkan nalar kritis para murid yang justru nalar kritis itu sebagai bekal murid dalam mebaca kenyataannya. Lebih Ironinya lagi, mahasiswa yang berfikir demikian tadi dikemudian hari mengajar anak-anak SD, SMP, atau SMA sederajat. 

Kenapa hal ini tidak sama sekali menjadi evaluasi besar dalam dunia pendidikan, padahal masalah tersebut telah terjalin selama puluhan tahun, yaaa… Kita terjerat pada situasi demikian. Lalu kenapa hal ini dibiarkan saja ? Ataukah ini adalah suatu bentuk kesegajaan? 

Budaya feodalisme

Budaya feodalisme di Indonesia sudah hidup pada masa kerajaan-kerajaan nusantara, feodalisme dalam term-nya Karl Marx metupakan suatu sistem yang lebih mendahului kapitalisme, corak daripada sistem ini adalah terbaginya sosial menjadi dua, yakni; bangsawan (mereka yang memiliki tanah) dan petani (yang menggarap tanah). Kelas petani mengerjakan garapannya di atas tanah milik para bangsawan, yang ketika panen hasil tersebut di ambil oleh pemilik dan hanya sedikit yang diterima oleh petani yang mengerjakan. Kekuatan sistem ini adalah hak milik tanah, menjadi bahan untuk mengeksploitasi tenaga para tani. 

Dalam sistem ini para petani memiliki kebebasan dalam hidupnya, namun tidak dalam konteks prinsip hidup dan politik, maka sebetulnya kebebasan itu tidaklah pernah tergapai oleh mereka. Yaaaa, petani hidup dalam kerangkeng kekuasaan tanah bangsawan atau raja-raja. Demikianlah sistem Feodalisme bekerja di Indonesia yang pada saat itu masih nusantara. 

Paska runtuhnya sistem ini lantaran konflik internal dan persaingannya dengan para boujuis yang akhirnya hidup sistem yang lebih canggih yakni kapitalisme, mentalitas feodalisme masih menyisakan bekas-bekasnya. Seakan kini kita telah bebas dari jeratan untuk merdeka, atau jika meminjam postulat Foucault yakni “panopticon” yang terus mengintai kehidupan. Ketika sudah merasa bebas, maka kita akan menggapa apa yang diingini atau apa yang dibutuhkan, jika kurang uang atau butuh uang maka ia akan menutupinya. 

Demikianlah situasi paska runtuhya sistem feodalisme, maka tak heran bilamana sistem kapitalisme yang menyusulnya menggagas tentang ide kebebasan. 

Neo-feodalisme

Jika kemudian kekuatan kekuatan feodalisme ada pada tanah yah dihak-miliki guna mampu meraup keuntungan dari tani yang megerjakanya, demi kepentingannya sendiri atau kelompok-kelompoknya. Maka sesungguhnya dalam realitas Indonesia kini masih saja sistem feodaisme itu bekerja, namun dala gaya yang berbeda. Kini para feodalis terepresentasikan oleh corak pemerintah yang megeksploitasi rakyatnya, yang mana tanah-tanah yang tidak memiliki nama maka oleh mereka di akuisisi, atau melalui kekuasaan-kekuasaan legalnya yakni : pajak, yang menjadi kewajiban para rakyat untuk membayarnya kemudian mereka gunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok-kelompoknya, sebab mereka merasa memiliki kekuasaan ketimbang rakyatnya, ini seirama dengan otoritas bangsawan dan inferioritas para petani ketika era feodalisme, ini merupakan wajah baru dari feodalisme, atau mari kita sebut sebagai Neo-Feodalisme. 

Pendidikan sebagai instrumen kebiri ? 

Telah kita ulas bersama megenai persoalan pendidkan yang kian menjauh dari nilai-nilai idealnya, karena faktor perkawinan pendidikan dengan aspek ekonomi. Sehingga pendidikan ideal pada saat ini adalah yang mengerucut pada aspek ekonomi saja, tiak lagi enang optimaliasi potensi qodrati, tidak lagi melatih daya berfikir, tidak lagi megasah keuata berfikir kritis, tida lagi tentang penanaman nilai-nilai komunal, atau semacamnya. 

Jika kita masuk pada Ideology State Aparatus (ISA)-Nya Althusser maka tenu pendidikan ini adalah salahsati instrumen negara untuk mepertahanka dominasnya, maka jika wajah pendidikan sekarang sebegini adanya, maka ini tida terlepas dari suatu bentuk perencanaan para penguasa negara. Maka ketumpulan daya berfikir para murid ini adalah suatu betuk yang terencana, artinya kebodohan yang terjadi telah masuk pada kesengajaan yang terstruktur oleh instruksi para penguasa. 

Sebab kehodohan akan menciptakan kestabilan demokrasi, karena kebodohan tiidak akan terlibat dalam betuk perumusan-perumusan atau keputisan-keputusan. Hingganya mereka yang bermain di dalam sistem demokrasi bisa mulus melancarkan kepentingannya. Contohnya seperti kebijaka program mobil baru para pejabat, atau aggaran -aggaran besar lainnya yang menjdi fasilitas mereka. Meminjam postulat “lumpen poletariat” Nya Marx, bahwa lumpen proletariat adalah suatu kelas yang tidak masuk pada analisisnya, adalah orang miskin yang rela melaksanaka kriminalitas untuk bertahan hidup. Jika agenda mebodohkan adalah tidak perpuji, jika bermewah-mewahan diatas penderitaan adalah amoral, atau mencuri itu adalah tindakan kriminal maka sesungguhnya para pemerintah yang kini bergelimangan harta dengan negandalkan pajak dari rakyat untuk bertahan hidup dan foya-foya, artinya mereka adalah seoang lumpen proletariat yang dibungkus dengan jas dan dasi. 

Jalan menuju pertaubatan! 

Mestilah kita keluar dari situasi ini kemudian merubahnya, agenda mencerdaskan kehidupan bagsa ini mesti di hantarkan pda situasi yang kembali murni, guna terbentuknya anak bangsa yang kritis dan terdidik, serta terlatih dalam membaca, merespon, serta menyelesaikan persoalan kehidupan sosialnya. Sehingga demokasi tidak dibajak oleh para segelintir orang saja, guna melanjutkan amanah revolusi Agustus yang sudah pendahulu kita perjuangkan. 


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *