Kebangkitan Neo-Komunisme; Situasi Politik AS dan China

Prolog

Bagaimana realitas ini hadir tanpa akar historis? Sudah barang tentu hal tersebut mustahil terjalin. Sebab kenyataan kini merupakan impian-impian dan laku-laku para pendahulu kita semua. Berikut juga dengan kenyataan sekarang yang akan begitu mempengaruhi kenyataan masa depan yang niscaya datang. Lalu apa yang menjadi sebab atas impian dan laku lampah manusia bisa hadir ? Setidaknya hal itu diawali dengan konsep ideal dalam hidup. Atau kita kenal sebagai ideologi. Ideologi inilah yang menjadi landasan atas corak berfikir dan laku lampah manusia, yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia sejak dari ; ekonomi, sosial, budaya, politik, dan kebudayaan. 

Kita kenali bahwa pandangan ideal tentang hidup atau ideologi ini memang beragam. Namun setidaknya hanya ada dua ideologi besar dunia yang menentukan pergaulan global, yakni liberalisme dan sosialisme yang terus bertentangan hingga menciptakan kenyataan sekarang ini. Saya tidak akan mengurai genealogi dari kedua ideologi tersebut, barangkali itu akan kita bahas pada kesempatan lain. Pembahasan kali ini akan bertumpu pada proses evolusi kedua ideologi tersebut sejak dari perang dingin hingga sekarang saat terpilihnya kembali presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Kita masuk pada tesis tokoh neo-hegelian yakni Francis Fukuyama dalam bukunya  “The End Of History And The Last Man” Menyatakan bahwa dalam proses pencaharian ideologi yang ideal untuk digunakan dalam kehidupan manusia telah berakhir dan bermuara pada Demokrasi-Liberal yang ditandai sejak kemenangan sekutu saat perang dingin melawan Komunisme Soviet. Pasca perang dingin, banyak negara-negara yang menganut ideologi Demokrasi-Liberal, tentunya negara yang berada di benua Amerika seperti; Amerika Serikat, Chili, Kanada, Meksiko, Colombia, dan lain sebagainya.

Ideologi ini menjadi akhir dari semua ideologi, sebab ideologi Demokrasi-Liberal ini menciptakan keseimbangan atas kesejahteraan manusia. Ideologi ini mengusung kebebasan hak individu yang terikat pada postulat check in balance. Bersama ideologi ini, dunia mampu keluar dari krisis akibat dari perang dunia yang mengalami banyak kerugian. Namun apakah benar bahwa ideologi Demokrasi-Liberal ini menjadi titik akhir dari perjalanan ideologi? Mari kita urai.

Keraguan Francis Fukuyama atas tesisnya

Setelah Fukuyama menggadang-gadangkan bahwa ideologi terakhir adalah Demokrasi-Liberal  seperti apa yang kita urai di atas. Kini ia meragukan sendiri tesisnya tersebut. Ia melihat terdapat ketidakstabilan daripada sistem Demokrasi-Liberal itu sendiri. Yang ironinya itu terjadi di negara pusat Demokrasi-Liberal seperti di Amerika Serikat dan Inggris. Supremasi hukum, serta akuntabilitas politik modern kian mundur dan menuju arah kehancuran. 

Ditengah keraguannya, Fukuyama dalam bukunya “identity: The Demand For Dignity and The Politics of Resentment”. (2018) Memaparkan persoalan Demokrasi-Liberal beserta reformasi gerakan-gerakan kaum kiri dan kanan. Seperti memisahkannya Inggris dengan Uni Eropa dan kemenangan partai kiri di prancis. Pun pula dalam gerakan golongan kiri kini bukan lagi membicarakan kelas ekonomi, melainkan bergerak pada segmen agitasi kelompok yang termarjinalkan seperti ; LGBT, imigran, perempuan, anak-anak, dan semacamnya. Sedangkan kaum kanan, mereka melebeli kelompok ya sebagai kelompok yang patriot, mengusung eksistensi budaya dengan nuansa tradisional-nasional, meliputi ; ras, etnis, suku, dan semacamnya. 

Ketika tiap-tiap identitas menjadi suatu persoalan yang tidak terselesaikan, sementara negara tidak mampu mengatasi hal ini, maka ini merupakan titik kelemahan daripada Demokrasi-Liberal. Bagaimana tidak, ketika Demokrasi-Liberal mengusung kebebasan bagi setiap individu, sementara itu dalam pelaksanaan realitasnya, akak menimbukan pertentangan identitas. Hap ini menjadi kerumitan dalam sistem tersebuttersebut, terlebih jika belum ada payung hukum dari negara yang mampu menanggulanginya.

Hal ini akan menciptakan rasa ketidaknyamanan terhadap beberapa identitas, hingganya tercipta jalan untuk kemudian bergantinya sistem Demokrasi-Liberal ini. Yaaaa, dialektika belum berakhir! 

Neo-Komunisme ala China

Telah kita ketahui bersama, bahwa setiap negara selalu berupaya untuk memberlakukan suatu sistem yang ideal bagi negaranya sendiri, sehingga perubahan-perubahan selalu niscaya terjadi, termasuk negara China. bahwa terdapat perjalanan politik dalam tubuh china itu sendiri, sejak dari masa-masa dinasti, komunisme yang bawakan oleh Mao Zedong, hingga Neo-Komunisme yang dipimpin oleh Den Xiao Ping hingga kini Xi JinPing.

Pada fase Komunisme awal yakni era Mao Zedong, dengan upaya politik Garis massa-nya, ia memprioritaskan sisi kepentingan subjektif ketimbang keobjektifan kepentingan partai. Bagi Mao kebenaran suatu teori akan terverifikasikan oleh praksis dalam masyarakat, teori akan dibenarkan apabila berkesesuaian dengan kepentingan subjektif masyarakat. Apabila teori tersebut tidak satu nafas dengan kepentingan masyarakat, maka teori tersebut tidaklah benar. Pada era ini dengan program-program yang di usung oleh Mao Zedong banyak nyawa yang menjadi korbannya. Dalam gerakan “lompatan jauh kedepan” Yang menyusul kemajuan industri global, sekitar 21 juta nyawa yang terberenggus dari kegagalan program ini. Sebab dari kegagalan ini salahsatunya menarik habis tenaga produktif agraris ke industri. Hingga terjalinnya data yang manipulatif atau tidak tepat sasaran.

Program diatas tidak sebanding dengan program agrarisnya, yang menghendaki penghapusan tuan tanah atas tanahnya. Bagaimana tidak, program ini justru hanya sedikit tenaga produktif yang menggarapnya. Namun program ini kemudian dilanjutkan oleh Deng Xiaoping  hingga menciptakan arus balik kebangkitan china. Dengan kekayaan pangan, Deng mampu mengerjakan agenda-agendanya dan meningkatkan kualitas hidup China. Ia lebih terbuka pada para investor asing yang notabene menggunakan sistem ekonomi kapital, namun itu disambut baik oleh China atas beberapa persyaratan yang dihadirkan. Tahun 1979 adalah waktu berkunjungnya Amerika Serikat sebagai simbol kebangkitan China dalam ekonomi dan diplomasi internasional.

Tak terhenti sampai sana, China dibawah kepemimpinan Xi Jinping semakin melebarkan sayapnya dengan agenda One Belt One Rute (OBOR) yang membangun arus perdagangan terluas sedunia, dari asia hingga eropa yang terpusat di negara China. Tak hanya itu, China membangun banyak dermaga-dermaga laut di hampir seluruh benua di dunia. Ini semakn memperlancar arus perdagangan dari China. Bahkan salah satu ahli ekonomi China memprediksi bahwa pada tahun 2030, China akan melampaui kekuatan ekonomi AS.

Melemahnya Kekuatan Amerika Serikat

Telah kita urai, bahwa Demokrasi-Liberal yang berpusat di negara Amerika Serikat yang pada awalnya digadang-gadang sebagai akhir dari sistem yang paripurna, namun pada kenyataannya kian hari, kian melemah. Setidaknya terdapat beberapa faktor yang membuat kekuatan Amerika Serikat semakin melemah :

Pertama pasca perang dingin, Amerika Serikat menjadi raja atas negara-negara sedunia. Maka peranannya menjadi patron atas keberjalanan setiap negara. Bahwa dalam pemberlakuan transaksi alat tukar, telah menjadi kesepakatan dunia mesti menggunakan dollar sebagai mata uang internasional. Sebagai konsekuensi, negara-negara lain mesti menukar mata uangnya menjadi dollar apabila hendak melaksanakan perdagangan dunia, atau menukarnya dengan emas, atau kita kenal sebagai perjanjian bretton woods. Namun pada tahun 1971 presiden AS Richard Nixon membatalkan regulasi tersebut yang menyebabkan nilai mata uang dunia menjadi mengambang. Yang pada tahun berikutnya organisadi pengekspor minyak (OPEC) melaksanakan embargo sebagai dukungannya kepada AS dalam konflik Israel. Hingganya keputusan ini menyebabkan harga minyak menjadi semakin meroket. Yang kemudian pada tahun 1974 AS dan Arab Saudi beserta negara-negara OPEC lainnya mencapai kesepakatan untuk mengeksklusifkan perdagangan minyak hanya menggunakan uang dollar. Sebagai imbalannya Arab Saudi akan mendapat perlindungan militer dan dukungan ekonomi. Perjanjian ini dinamakan perjanjian petrodollar disepakati di atas kapal tempur AS. Kesepakatan ini menciptakan stabilitas pasokan minyak AS dan kesejahteraan ekonomi Arab Saudi.

Namun pada tahun 2024 perjanjian telah berakhir dan Arab Saudi tidak membuat kontrak kembali bersama AS, artinya sejak tahun 2024 perdagangan minyak dari Arab Saudi sudah tidak harus menggunakan mata uang dollar. Ini merupakan situasi yang mampu melemahkan mata uang dollar, karena akan semakin sedikit negara yang membeli mata uang dollar untuk membeli minyak ke Arab Saudi. Nilai mata uang dollar niscaya turun.

Kedua pada tanggal 3 Februari 2025 kepala Departemen Efisiensi Pemerintah(DOGE) Elon Musk resmi menutup organisasi amal internasional AS (USAID) yang beroperasi sebagai wajah ramah AS pada dunia, ia memberikan banyak bantuan terhadap negara-negara khususnya negara-negara terbelakang. Ini akan menjadi suatu prahara bagi negara-negara yang ketergantungan terhadap bantuan USAID yang telah berlangsung, seperti negara Ukraina, Afganistan, Somalia, dan negara-negara benua Afrika serta Asia. 

Gaya politik Amerika Serikat

Perang merupakan suatu konflik kepentingan antara negara-negara, tentu terdapat banyak sekali kerugian yang didapati oleh masing-masing negara. Namun dipihak yang lain, terdapat beberapa pihak yang meraup keuntungan begitu besar daripada peperangan tersebut. Yahh, Amerika Serikat sangat diuntungkan dalam situasi ini. Sebab peperangan bagi AS merupakan ladang untuk berdagang, tentunya berdagang senjata. Sebab diantara kubu yang berperang pasti mengingini senjata yang paling canggih untuk bisa memenangkan perang, tentu AS terbuka atas situasi ini untuk menyambutnya.

Kita ambil contoh perang Rusia-Ukraina yang terus berkepanjangan, atas kepentingan Ukraina yang hendak bergabung dengan organisasi NATO namun tidak diizinkan oleh Rusia mengantarkan mereka pada konflik berdarah. Sebab rusia tidak ingin batas teritorinya didiami oleh negara yang menjadi musuhnya yakni negara-negara NATO. Namun dengan bersih-kukuh Ukraina menghendaki untuk tetap bergabung dengan NATO, dengan pasokan dana bantuan dari AS, Ukraina membeli senjata paling canggih di negara-negara NATO, negara apa yang paling canggih dalam memproduksi senjata? Tentu AS itu sendiri. Dollar yang sudah di pinjamkan AS ke Ukraina kemali lagi dengan di tukar oleh senjata tempur. Tidak jauh berbeda dengan peperangan Israel-Palestina yang mana AS meraup keuntungan besar daripada konflik itu sendiri. 

Namun gaya politik ini hanya cukup pada era Joe Biden, ketika Trump naik kembali sebagai presiden AS, sebagai pribadi yang tidak suka akan militerisme dan pertumpahan darah, ia merubah garis haluan politiknya menuju perang ekonomi dengan China. Bagaimana tidak, tiap-tiap negara yang disinyalir terdapat perusahaan China di dalamnya, maka Trump memberikan sangki berupa pajak negara, negara manapun itu. Yang pada awalnya Kanada dan Meksiko merupakan negara yang betsahabat dengan AS, sampai dalam perdagangan pun tidak perlu menggunakan pajak, kini mereka termasuk negara yang dikenakan pajak. Sebab di negara Kanada dan Meksiko terdapat perusahaan China yang beroperasi. Tidak selesai sampai disana, AS secara langsung mengenakan pajak pula kepada China sebesar 104%.

Ini memicu persoalan baru lagi, sebab negara-negara yang terkena dampanya akan kelabakan, termashk Indonesia. persoalan ini akan menjadi awal daripada era baru dunia di masa yang akan datang. 

Kebangkitan komunis? Benarkah?

Jika kita tinjau daripada apa yang sudah dipaparkan di atas, mengenai proses evolusi ideologi Neo-Komunisme China dengan Demokrasi-Liberalnya AS kita jumpai bahwa pada situasi ini, tesis daripada Francis Fukuyama tentang akhir dari ideologi adalah Demokrasi-Liberal beserta Persoalan-persoalan di dalamnya sudah tidak lagi relevan. Sebab dominasi AS kini mulai melemah, oleh pola gerilyanya China dalam perdagangan. Arogansi AS telah menampar dirinya sendiri, negara-negara tengah berpaling kepada China dan disambut baik oleh mereka. 

Politik AS yang arogan yang memicu peperangan, Konflik-konflik internal negara tengah meresahkan banyak negara. Jika dibandingkan dengan China yang sibuk merintis persaudaraan universal dalam arus perdagangan, yang tidak menempatkan negaranya sebagai negara yang lebih besar dan mengeksploitasi negara terbelakang, mereka justru sibuk membangun kerjasama dan membangun infrastruktur lintas negara sebagai simbol keluasan. China memberikan kesempatan kepada negara manapun untuk bersama-sama memajukan nasib bangsanya. 

Apakah ini merupakan tanda kebangkitan komunisme? Jika kita tinjau secara konsepsi komunisme secara ortodoks, yang mengacu pada ajaran Marxismenya Lenin, atau Marxismenya Mao Zedong, sudah tentu situasi ini bukanlah kebangkitan dari komunisme, sebab kini China tengah mengoperasikan negaranya berdampingan dengan para kapitalis. Yang mana hal tersebut tidak dihendaki oleh ajaran Lenin maupun Mao, mereka menentang keras para pemilik modal yang rakus dan eksploitatif kepada kaum pekerja dan tani. Bahwa industri mesti dinasionalisasikan dan dioperasikan atas kepentingan kaum pekerja, begitu komunisme dalam memandang. 

Namun pada era sekarang, para pemilik modal sudah meminimalisir eksploitasi yang dihadirkan. Sebab mereka telah melihat situasinya sendiri apabila mereka seenak jidatnya memeras para buruh tentu itu akan menghancurkan dirinya sendiri sebab amukan para buruh. Sehingga kini, sistem wkonomi kapitalis berkawin dengan nilai-nilai komunisme, kesejahteraan buruh lebih diperhatikan, seperti asuransi kesehatan, jam kerja yang dikurangi, tunjangan keluarga, dan lain sebagainya. Sistem ekonomi demikian yang hidup hampir diseluruh negara dewasa ini. 

Lalu apa beranya antara AS dengan China jika begitu? Perbedaan yang signifikan ada pada orientasinya, AS menghendaki kebebasan atas hak-hak individu, sedangkan China menghidupkan sistem ekonominya dengan nafas kesejahteraan manusia secara internasional. Ini merupakan komunisme dalam wajah baru, atau neo-komunisme. 

Jika kita lihat uraian dari awal hingga akhir, sudah barang tentu dominasi AS akan segera runtuh oleh kualitas baru yang ada pada China, ini akan menciptakan realitas dunia yang berbeda ketika China menjadi negara terkuat di dunia. Atau mungkin ini merupakan tahapan menuju arah perkembangan yang diramalkan Marx, yakni masa peralihan Kapitalisme menuju Sosialisme-komunisme. 


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *