
Kemajuan teknologi telah menjadi keniscayaan pada zaman kini, yang mana hal tersebut tidak terlepas daripada faktor historis yang setidaknya mampu kita lacak sejak dari akhir abad pertengahan, keruntuhan dominasi gereja di eropa sejak bertahun-tahun telah digantikan oleh gerakan-gerakan humanisme dengan nafas rasionalisme yang sering kita dengar dengan zaman renaissance atau zaman kebangkitan tersimbolkan dengan bermunculannya para ilmuwan yang begitu berjasa hingga kini, diantaranya; Leonardo Da Vinci, Issac Newton, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi awal menuju revolusi industri dan revolusi Prancis; pada saat zaman dinama penemuan-penemuan teknologi mulai hadir, seperti mesin uap, mesin cetak, kemudian disusul dengan jaringan seluler yang begitu membantu aktivitas kehidupan manusia. Memang pada dasarnya teknologi yang diciptakan adalah sebagai alat untuk membebaskan serta memudahkan manusia dalam kehidupannya. Dalam daripada itu, pada masa sekarang hal demikian menjadi suatu patologi baru yang menggeser eksistensi manusia yang mendikte kehidupan para pekerja, mengatur aspek konsumsi masyarakat secara global. Hingga pada akhirnya teknologi ini telah mengasingkan manusia dan kemanusiaannya. Kesadaran telah terdegradasi dengan mekanisme teknologi dan algoritma media massa. Analisis Karl Marx mengenai antagonisme kelas yang saling bergesekan antara kaum borjuis dengan kaum proletar kini rupanya semakin mendingin, nyatanya para buruh pada saat ini tidak lagi menghendaki untuk disegerakan revolusi, sebab kemudian kebutuhan-kebutuhan para buruh telah terpenuhi. Alih-alih revolusi, para buruh kini membantu para kaum borjuis untuk terus meningkatkan kualitas teknologi industri.berikut ini adalah pemaparan wacana yang menyerap berbagai teori mengenai fenomenafenomena yang berdampak kepada kehidupan masyarakat modern.
Pada 19 juli 1898 telah lahir seorang anak yang kemudian dicanangkan sebagai “nabi baru” karena pemikirannya begitu radikal dalam memandang realitasnya, ia bernama Helbert Marcuse yang terlahir dari keluarga Yahudi, sebagai asisten dan murid dari Heidegger, dibawah bimbingannya pada tahun 1932 ia menyelesaikan karyanya habilitationsschrift berjudul Hegels Ontologie und die Grunlegung einer Theorie der Geschichlichkeit. Ia adalah salah satu anggota dari madzhab Frankfrurt yang dikenal sebagai kaum Neo-Marxis yang mengkritisi realitas kehidupan manusia modern.Menurut Marcuse ada tiga ciri masyarakat industri modern kini, diantaranya; pertama masyarakat berada dibawah prinsip teknologi, dimana kehidupan manusia kini telah terdominasi oleh bayangbayang teknologi dalam segala aspek kehidupannya; ekonomi, sosial, budaya, politik, agama, dan sebagainya. Kedua masyarakat menjadi irasional sebab terjadi perkawinan antara produksifitas dan destruktifitas. Masyarakat industri modern kini semuanya sepakat untuk berbondong-bondong memproduksi persenjataan tempur, sedangkan ketimpangan sosial kurang diperhatikan. Ketiga masyarakat berdimensi satu, tidak lain adalah manusia digiring untuk masuk pada suatu dimensi yang sama, tujuan yang sama yakni untuk melanggengkan mekanisme dunia yang sedang beroperasi sekarang. Dimensi-dimensi kemanusiaan yang lainnya jika bertabrakan dengan dimensi ini mesti disingkirkan, hingganya menciptakan manusia yang bersifat mekanistis. Kini para buruh tidak lagi merasa tertindas tidak seperti pada abad ke-19 silam, akan tetapi pada kecanggihan teknologi kini, para buruh terkungkung pada suatu pekerjaan yang begitu monoton dalam klasifikasi bidangnya, menciptakan suasana tegang secara psikologis. Kini manusia tidak lain hanya sebagai alat produksi, bukan lagi sebagai manusia. Mekanisme kerja telah memberikan ideologi instrumental yang menghujam kesegala aspek kehidupan manusia, hingganya mereka hanya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan semu. Menurut Samir Amin sebagai tokoh NeoMarxis bahwa para kaum borjuis enggan untuk memproduksi alat-alat produksi, mereka lebih suka untuk memproduksi barang-barang yang bukan primer dan membangun kebutuhan-kebutuhan artifisial.Hingganya apa-apa yang dikonsumsi oleh kalangan masyarakat adalah bukan berangkat dari lubuk hati, melainkan berangkat dari cara melihat orang lain. Dalam kaitannya dengan budaya populer, masyarakat digiring untuk mengikuti tren yang diciptakan oleh para kelas elite, juga kemudian budaya populer ini memiliki corak keseragaman rupa yang begitu menguntungkan industri dalam
operasionalnya. Juga kemudian masyarakat digiring untuk tunduk pada administrasi total yang aspek kehidupan manusia terpolarisasikan oleh beberapa prasyarat serta aturan-aturan yang tentunya untuk mengamankan status quo para penguasa. Selain intervensi dalam wilayah syaratsyarat formal, dalam dimensi kultural pun ikut dipolarisasi melalui bahasa fungsional, bahasa disini tidak hanya sebagai apa yang dikatakan, lebih jauh dari itu, bahasa fungsional disini sebagai wacana yang mengkonstruksi pemikiran masyarakat serta mendistorsi serangkaian sejarah masyarakat yang majemuk. Kemudian realitas kini telah beralih kepada imperium citra yang mana konsep virtual menjadi ujung tombak dari operasionalnya, masyarakat digiring untuk mendamba pada situasi populer yang mana hal tersebut tidak lagi mementingkan kerangka ilmu pengetahuan. Kebutuhan yang bersifat artifisial diproduksi pada wilayah ini, hingganya apa yang disebut hakikat kebutuhan manusia telah menjadi bias, masyarakat lebih mementingkan bungkus ketimbang isi, esensi dan substansi telah dibuang ke peti matinya oleh sensasi-sensasi yang bersifat temporal. Dalam kaitannya dengan neurosains, Susan Greenfield seorang ahli otak yang berfokus kepada pengaruhnya kepada kehidupan sosial, menurutnya bahwa otak itu bersifat plastisitas atau mudah dibentuk oleh lingkungannya, dalam realitas dunia industri modern ini adalah teknologi digital selalu terlibat dalam aktifitas kehidupan masyarakat. Hal tersebut yang membentuk sel-sel otak hingga konstruk fisiknya. Seperti apa yang telah dibahas di atas, bahwa manusia telah terdikte oleh teknologi, kebudayaan mulai dari selera, gaya hidup, cara berfikir hingga bersikap yang ditentukan oleh teknologi. Tekonologi digital menjadi suatu peranan yang memecah realitas manusia pada dua dimensi, real dan citra. Pada masa kini realitas menjadi terbalik, bahwa yang citra mereka sebut fakta pun demikian sebaliknya. Dalam realitas citra komunikasi tidak melibatkan komunikasi nonverbal, terlebih dalam kesehariannya masyarakat industri modern hanya bertemu dan berkomunikasi dengan mesin-mesin yang beroperasi secara mekanik, kedua hal ini yang akan menjadi dampak negatif kedalam kehidupan real masyarakat dalam dimensi sosialnya. Masyarakat akan menjadi antipati terhadap sesamanya, mereka akan tergiring pada arus individualitas yang menafikan kehidupan sosial, menurutnya Susan Greenfield bahwa jika kemudian teknologi digital terus dibiarkan tanpa ada kesadaran kritis yang dihidupkan, kehidupan masyarakat akan kehilangan identitasnya dan ketergantungan serta mudah marah. Hal ini dapat diantisipasi oleh gerakan-gerakan yang dihadirkan oleh orang yang merasa terdiskriminalisasi dan termarjinalisasi, sebab kemudian kelas buruh telah tenggelam didalam labirin ilusi teknologi yang kini mendominasi kehidupan manusia. Kaum muda-lah yang mampu bergerak untuk menciptakan perubahan sosial ke arah yang bersifat emansipasi.
Pasca perang dingin dimana para negara-negara bekas jajahan berbondong-bondong untuk memperbaiki tata kelola negaranya khususnya dalam aspek eknomi dan politik.
Developmentalisme menjadi suatu anak ideologi liberalisme-kapitalisme yang diamini dan dianut oleh negara-negara bekas jajahan itu. Mereka berbondong-bondong melaksanakan pembangunan secara massal, membuka dan menerima para investor selebar-lebarnya. Yang mana hal ini dapat menciptakan realitas masyarakat yang saling bersaing, menciptakan ketegangan secara psikologis. Masyarakat menjadi saling menindas untuk mendapatkan apa yang hendak didapati. Dalam kaitannya dengan hal di atas, Paulo Freire seorang ahli pendidikan asal brazil berpendapat bahwasannya pembangunan mengkonstruksi masyarakat pada beberapa hal, diantaranya; passive spectator yang dimana hidup mereka terombang-ambing oleh struktur wacana yang diproduksi oleh kaum-kaum elite, juga cultural alienation atau terasingkan secara kultur, bahwa masyarakat akan terasingkan secara kebudayaannya, massification bahwa manusia akan menjadi objek masifikasi dari sistem yang sedang beroperasi, serta assistensialisme yang mana masyarakat akan selalu bergantung secara psikologis kepada faktor eksternalnya. Hal tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja, sebab menurut Denis Goulet bahwa pembangunan bukanlah bicara soal ekonomi saja, melainkan juga aspek kemanusiaan yang mesti menjadi perhatian. Dalam diskursus teori sistemnya Wallerstein yang membagi negara kedalam tiga klasifikasi; core, semi perypery dan perypery. Dimana negara core adalah mereka negara sekutu sang pemenang perang dunia kedua, sedangkan negara semi perypery dan perypery adalah negara-negara bekas jajahan. Sebagai negara yang baru saja merdeka mereka menghendaki untuk mengembangkan sirkulasi ekonomi-politik tidak secara evolutif, melainkan dengan pertumbuhan yang terencana dan signifikan. Dalam teori hegemony stability bahwa negara bekas jajahan mesti mengikuti dan bergantung kepada negara-negara maju. Maka cikal daripada kelahiran ideologi pembangunanisme tidak bisa dielakan lagi.
Di indonesia sejak era orde baru, nafas dari gaya politiknya mengafirmasi wacana di atas, ideologi pembangunanisme menjadi begitu dominan dalam kepemerintahannya selama menjabat cukup lama selama 32 tahun. Setidaknya terdapat dua agenda yang kemudian dicanangkan oleh rezim ini, antara lain; pertumbuhan ekonomi serta stabilitas negara. Maka dalam kepemerintahannya, kebebasan berekspresi, berpolitik, serta berfikir begitu dipolarisasikan oleh pemerintah. Bagaimana caranya pemerintah dapat menekan segala hal yang menganggu agenda tersebut. Widjojo Nitisastro adalah seorang arsitek ekonomi utama orde baru yang mencanangkan ide tentang repelita (rencana pemabangunan lima tahun) yang bergerak pada wilayah sandang dan pangan di daerah pedesaan; membangun jalan, irigasi, serta merehabilitasi pesawahan. Menurut Mudrajad Kuncoro seorang guru besar ekonomi FEB UGM dalam kolom majalah Gatra bahwa repelita menggunakan sistem ekonomi yang terkonsentrasi atau top-down yang menggemukan ekonomi sentral terpusat dan akan mengalir kebawah. Meskipun gaya politik demikian memberikan hal yang positif seperti yang dikatakan oleh Edward Aspinall dan Marcus Mietzner bahwa orde baru telah berhasil menekan inflasi serta menumbuhkan ekonomi Indonesia, yang pada awalnya pendapatan perkapita 70 dolar pada tahun 1968 menjadi 1.100 dolar pada tahun 1997, adalah perubahan serta pertumbuhan yang begitu signifikan, akan tetapi hal tersebut tidak menghilangkan dampak negatifnya. Pada era ini, sebagaimana seorang pekerja industri di eropa pada abad ke-18 hingga abad-19 menjadi suatu previllage tersendiri, maka masyarakat berbondong-bondong untuk kemudian mempersembahkan dirinya untuk bergabung dengan industri yang sedang marak-maraknya dibangun oleh pemerintah. Selain daripada itu, sebab pembangunan ini dibangunan dengan paradigma pragmatis maka hal tersebut akan menembus pada aspek kehidupan masyarakat lainnya. Cita-cita masyarakat dalam hidup menjadi pragmatis yang bertumpu pada sesuatu hal yang menguntungkan meski bersifat temporal. Selain daripada itu, kajian yang memantik nalar kritis pada era ini begitu dilarang, buku-buku yang berhaluan “kiri” menjadi suatu momok yang mesti dibumihanguskan. Hingganya menciptakan masyarakat yang tumpul dalam memandang realitas yang terjadi. Selama 32 tahun masyarakat terdidik demikian halnya dan akan terus diestafetkan kepada anak keturunannya di generasi yang akan mendatang. Kemudian diperparah lagi sejak tahun 2019 dunia telah diguncangkan dengan menyebarknya virus yang membahayakan kehidupan manusia, ialah Covid-19 yang mengganggu sistem pernafasan manusia, mampu mengakibatkan kematian, selama virus tersebut melanda terdapat kurang lebih 16,6 juta jiwa yang meninggal lantaran terindikasi virus, menjadi suatu detuman yang serius bagi setiap negara. Virus ini begitu merubah kehidupan masyarakat global secara signifikan, kehidupan masyarakat menjadi terpaksa untuk membatasi diri dari bersosialisasi dengan masyarakat lainnya. Ritus peribadahan, aktifitas bekerja, aktifitas belajar, serta aktifitas kehidupan masyarakat lainnya mesti direformasi pengoperasionalisasiannya. Kehidupan masyarakat terkungkung pada kecemasan dan kesepian, dalam kaitannya kehidupan masyarakat telah beralih pada kehidupan digital, yang mana selama 2 tahun mereka beradaptasi dan membiasakan diri berada dalam realitas maya. Hal ini menjadi titik balik kebudayaan bersosial. Eksistensi mereka beralih pada eksistensi artifisial, sebab dalam realitas maya masyarakat sebebas mungkin untuk dapat menciptakan persona dirinya ketimbang realitas konkretnya. Mesti adanya kebangkitan yang mencanangkan kesadaran kritis sebagai bentuk perlawanan atas realitas yang irasional ini, sebab peradaban manusia serta eksistensinya sebagai manusia dan kemanusiaannya mesti tetap lestari dari kehidupan. Tekonologi mesti dikembalikan kepada semestinya sebagai alat emansipasi bukan sebagai alat untuk memperbudak. Kaum muda serta golongan-golongan yang sadar dan golongan yang termarjinalkan mesti mengorganisir diri dalam lingkup-lingkup kecil yang terkordinir hingganya menjadi suatu daya akar rumput yang menghujam keatas dengan membawa cita-cita kemanusiaan yang luhur.
Setidaknya gerakan dalam arus pendidikan menjadi suatu daya tawar atas realitas yang sedang bekerja kini, sebab pendidikan adalah suatu ruang untuk mereproduksi kebudayaan, meciptakan generasi yang gemilang sebagai harapan bangsa kedepannya. Maka kurikulum dan aktor pendidik mesti mampu merekayasa ruang guna memantik daya kritis serta potensi-potensi dari peserta didik. Pendidikan mesti membebaskan para peserta didik, sebab peserta didik yang terbebaskan akan mampu membebaskan masyarakatnya dari cengkraman kehidupan yang begitu irasional dan menindas ini.
Epilog
Zaman teknologi modern adalah zaman dimana kemajuan teknologi dan informasi begitu banjir, yang membantu masyarakat dalam menjalani kehidupannya, oleh karenanya manusia mampu mencapai puncak rantai makanan dari makhluk hidup yang lainnya. Manusia menjadi super kuat, mereka begitu menjadi berkuasa di atas dunia. Namun jika kemajuan ini tidak dipupuk dengan aksiologi humanisme hal itu justru akan membahayakan manusia itu sendiri.Dampak dari pembangunan yang berkiblat kepada gaya barat begitu memberikan dampak negatifyang signifikan pada kebudayaan negara-negara bekas jajahan khususnya Indonesia. Kehidupan manusia yang mekanis serta paradigma pragmatis yang menegasikan kemanusiaan telah terestafetakan sejak era orde baru hingga kini, bahkan hal itu semakin mengakar dan menguat. Kehadiran covid-19 selama beberapa tahun terakhir pun memberi dampak yang begitu membahayakan masyarakat dunia terkhusus Indonesia. Sebab kemudian kehidupan selama berada dalam kondisi yang menyeramkan itu, masyarakat dipolarisasikan untuk mampu hidup intens didalam sosial medianya. Hal tersebut menjadi suatu lahan basah para rezim kapitalisme untuk mampu menggiring masyarakat massa menjadi bersifat konsumerisme. Seperti yang telah dipaparkan diatas, manusia akan turun derajat kemanusiaannya, mereka tidak akan menjadi daulat atas dirinya, mereka akan terpolarisasi oleh teknologi yang mereka ciptakan sendiri. Dekonstruksi dan rekonstruksi paradigma dalam memandang dunia ini mesti dilaksanakan.Kaum muda, kaum yang tertindas dan termarjinalkan mesti menjadi ujung tombak dari perubahan sosial, sebab realitas kini telah berjalan tanpa konsep kemanusiaan, hanyalah komoditi dengan bentuk penghambaan kepada uang yang mennjadi tujuan dari mayoritas masyarakat kini. Padahal sesungguhnya segala aspek berfikir dan kehidupan manusia tidak ada yang lebih tinggi dari ilmu pengetahuan, dan segala ilmu pengetahuan tidak ada yang lebih tinggi dari kemanusiaan.
Daftar pustaka
Ali Akbar Rabsanjani, d. (2015). PROPAGANDA PEMBANGUNAN UNTUK MEMPEROLEH LEGITIMASI
KEKUASAAN PADA REZIM ORBA.
Ardanareswari, I. (2020). Repelita ala Orba: Pembangunanisme yang Mengandalkan Modal Asing. tirto.id,
Darmaji, A. (2013). Herbert Marcuse tentang Masyarakat Satu Dimensi. 526.
Greenfield, S. (2015). On ‘Mind Change’. INTERALIA MAGAZINE,
Kristeva, N. S. (n.d.). Hand Out Kaderisasi.
Marcuse, H. (2000). Manusia Satu Dimensi. Yogyakarta: bentang.
Rahadian, L. (2022). WHO: Korban Meninggal Akibat Covid Capai 16,6 Juta Orang. CNBC Inonesia,
sosiologi, d. (2023). Pengertian Budaya Populer, Ciri, Proses, Macam, dan Contohnya.

Tinggalkan Balasan