Resminya Soeharto Menjadi Pahlawan

Pada tanggal 10 November 2025 tepat pada hari pahlawan nasional Indonesia, pemerintahan meresmikan beberapa nama untuk kemudian dijadikan pahlawan nasional Indonesia. Menurut beberapa sumber, diantara 10 nama tersebut ada beberapa yang kemudian menjadi titik sorot, diantaranya ada seorang aktivis buruh perempuan yakni marsinah dan presiden ke-2 Indonesia yakni Soeharto. Setidaknya hal ini menghadirkan gelombang panas di tatanan masyarakat, khususnya golongan mahasiswa dan para aktivis. Jadi, apakah Suharto ini layak disematkan gelar pahlawan ataukah justru tidak ?

Paska runtuhnya masa orde lama di bawah pimpinan presiden Sukarno, kemudian terbitlah masa orde baru dengan di pimpin oleh presiden Suharto. Dimana kita ketahui melalui cerita rakyat bahwa hanya di bawah kepemimpinan presiden Suharto-lah segala barang-barang kebutuhan bisa murah harganya, rakyat merasa aman sebab kriminalitas ditekan habis, dan rakyat pada masa itu lebih mudah untuk mencari pekerjaan. Hal-hal tersebut adalah suatu simbol yang menandakan bahwa presiden Suharto berhasil melaksanakan tugasnya, demikian terbesit dalam pikiran rakyat yang pernah mengalami masa kepemimpinan presiden Suharto.

Memang betul apa yang kemudian sering dikisahkan oleh para rakyat kita ini, sebab kemudian presiden Soeharto ini memiliki agenda inti dari masa kepresidenannya dalam memimpin negara Indonesia, dintaranya; pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik negara. Dua upaya ini menjadi segmentasi prioritas orde baru. Jika presiden Soekarno lebih memilih untuk menentang sekutu dan lebih dekat dengan front timur (Uni Soviet/Beijing) justru presiden Soeharto memilih untuk merapat pada sang pemenang perang dunia-2 yakni tentu sekutu, terkhusus negara paman sam, Amerika Serikat. Segala bentuk kemajuan selalu melalui intervensi mereka. Namun setelah itu, presiden Suharto membuka kepada negara manapun yang ingin berinvestasi di negara Indonesia, hasil dari kebijakan demikian maka banyaklah asing yang silih berdatangan ke Indonesia, hal tersebut menjadi daya topang ekonomi bangsa tentunya.

Dalam agenda stabilitas negara, presiden Soeharto dengan gaya kepemimpinannya yang cenderung otoriter mendisiplinkan partai dengan membubarkannya yang sekiranya bertentangan dengan kepentingannya. Menyisakan hanya beberapa partai yang kemudian tersisa, diantaranya partai Golkar(partai Soeharto sendiri), PDI, dan PPP. Juga selain daripada itu, di bawah kepemimpinan presiden Soeharto ini para kriminal ditekan mundur angkanya, sebab jangankan untuk melakukan tindakan kriminal, bertatto saja sudah terancam nyawanya. Sering kita dengar dari cerita-cerita rakyat, bahwa petrus (penembak misterius) menjadi momok yang menakutkan, mereka akan menculik para kriminal atau orang yang bertatto kemudian di hilangkan keberadaannya. Memiliki rambut panjang pun menjadi suatu hal yang dilarang, kisaran tahun 1970-an pemerintahan pernah membuat suatu agenda razia rambut di jalan-jalan. Coba bayangkan para abri yang mestinya menenteng senjata dengan perlengkapan perang yang lengkap, ini justru memegang gunting di jalan-jalan. Juga selain daripada itu, dalam segmentasi negara, presiden Soeharto mempersilahkan para militer untuk memiliki jabatan ganda, di militer itu sendiri dan di sipil. Para tentara bisa menjadi menteri, dewan, MK, MA, atau semacamnya. Hal tersebut menciptakan politik yang asimetris, sebab keberpihkan daripada militer itu sendiri jelas kepada presiden Suharto sebagai mantan militer pula. Sehingga tidaklah heran bilamana presiden Suharto bertahan menjadi presiden sampai 32 Tahun lamanya. Faham kiri menjadi hal yang menganggu kekuasaannya, sehingga sejak dari peristiwa G30S, buku-buku kiri dilenyapkan, tak hanya bukunya saja, tetapi mereka yang telah membaca dan memiliki corak berfikir progresif pun ikut tidak diberikan ruang publik kemudian dimusnahkan, tercatat sekitar 500.000- 1.000.000 jiwa yang dituduh sebagai anggota atau partisipan PKI yang dibunuh. Diskusi-diskusi kecil akan segera dibubarkan atas nama konstitusi, seluruh organisasi mesti mengacu pada asas tunggal yang kemudian menjadi senjata propaganda untuk mengukuhkan pengaruhnya. Para dukun-dukun santet pun ikut dibantai dan dimusnahkan keberadaannya pada masa itu. Para mahasiswa yang selalu terlibat dalam roda politik nasional dikebiri oleh agenda NKK/BKK nya, dan segala bentuk tekanan negara lainnya.

Hal-hal tersebut merupakan upaya untuk menjaga stabilitas bangsa Indoneia. Memanglah cukup signifikan hasilnya, namun sayangnya tidak terlalu lama, segera Indonesia di bawah pimpinan Soeharto ini mengalami inflasi yang lebih besar dan tidak pernah di alami oleh bangsa Indonesia. Dalam kondisi tersebut, presiden Suharto cenderung memperkaya dirinya beserta keluarga cendananya. Presiden Soeharto, disebutkan oleh Transparency International (TI) pada tahun 2004 sebagai pemimpin paling korup di dunia. Stabilitas sosial kembali bergemuruh, harga-harga sembako dan mata uang yang tidak sesuai menciptakan penderitaan baru yang di alami oleh bangsa Indonesia pada saat itu.

Presiden Suharto adalah sosok yang akan melakukan apa saja untuk pandangan idealnya, termasuk menghilangkan jiwa rakyatnya sendiri. Benarkah akan kita sebut pahlawan kepada sosok seperti itu ? sesungguhnya apa yang diinginkan oleh presiden Prabowo sekarang, ingin dekat dengan keluarga cendana dan kembali kepada cinta masa lalunya ? atau justru terdapat suatu titipan kepentingan untuk tujuan tertentu pula ? yang jelas jawaban dari pertanyaan tersebut tidak menjadi suatu dasar rasional sedikit pun untuk menjadikan Suharto sebagai pahlawan bangsa Indonesia. Suharto adalah aib bangsa Indonesia yang mesti di akui dan di evaluasi secara bersama-sama, demi kemajuan bangsa Indonesia kedepannya.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *