Keorganisasian

Oleh : M. Hira Habibillah

A. Pengertian dan Sejarah Singkat

Organisasi merupakan birokrasi yang memiliki hierarki yang jelas, pembagian kerja yang terstruktur, aturan yang ketat, hubungan antar anggota yang impersonal, serta tujuan bersama yang harus dicapai dengan sistem yang dinamis. (Emile Durkheim).

Manusia lahir dan hidup bersama kutukannya yang disebut kebutuhan bertahan hidup. Para ahli sosiolog membagi kebutuhan ini menjadi tiga kategori yaitu Primer, Sekunder dan Tersier, kebutuhan primer meliputi kebutuhan dasar yang manusia tidak bisa hidup tanpanya antara lain makan, minum, tidur, keamanan, sex dan kebutuhan biologis lainnya, sementara kebutuhan primer adalah kebutuhan yang dibutuhkan untuk mencapai hubungan primer tadi. Singkatnya segala kerja manusia dibumi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan primernya1.

Dahulu, saat ilmu dan teknologi belum seberkembang sekarang, manusia hanya mampu mengandalkan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan primernya, mula mula membentuk kelompok – kelompok kecil dan sama sama bekerja untuk mencapai tujuannya dengan sistem yang paling kuatlah yang menjadi pemimpin. Seiring berkembangnya ilmu dan tekhnologi, sistem kelompok berubah menjadi ilmu pengetahuan yang menjadi pemimpin.

Pada kisaran abad ke – 19 sampai sekarang banyak bermunculan tokoh yang membahas tentang kelompok atau organisasi. Kita kenal nama – nama besar seperti Henri Fayol, Max Weber, Frederick Winslow Taylor, dan Chester Barnard yang memberi sumbangsih atas berkembangnya ilmu tentang organisasi.

Begitulah organisasi terbentuk, berangkat dari harapan – harapan kehidupan masyarakat yang ideal, mereka memutuskan hidup berkelompok dan merumuskan nilai – nilai dan kaidah – kaidah hidup bersama yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota organisasi dalam hubungannya dengan anggota lain. Nilai – nilai yang diebutkan diatas tidak lain adalah asas – asas kerja organisasi agar mencapai tujuannya. Menurut Max Weber, birokrasi adalah cara yang tepat dari cara tradisional untuk membangun organisasi, administrasi, dan korporasi.

Pada paruh abad ke – 20, Indonesia yang saat itu dalam wilayah kekuasaan Hindia Belanda, bergerak ke – arah yang lebih dinamis danmulai berkembang. Ide tentang semangat nasionalisme dan pembebasan perlahan masuk dan menyebar dalam diri anak bangsa sehingga mereka menyadari bahwa bangsanya sedang dijajah oleh negara lain2. Merespon hal itu, para pemuda mulai mendirikan organisasi untuk mencapai bentuk idealnya yaitu Merdeka. Organisasi sebagai wadah yang mampu menampung tujuan bersama anggotanya dinilai ideal untuk digunakan untuk mencapai cita – cita kemerdekaan dan semangat nasionalisme anak bangsa.

1 Setiadi M. Elli & Kolip Usman. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Prenadamedia Group, 2013

2 Predana Yusuf & Pratama Adi Rinaldo. Sejarah Pergerakan Nasional. Jawa Tengah: Lakeisha, 2022

Boedi Oetomo merupakan organisasi pertama yang berdiri di Indonesia dengan cara kerja yang dinilai modern saat itu. Ia berdiri pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta. Melihat pendidikan yang didirikan oleh Belanda tidak merata dirasakan oleh anak bangsa, Dr. Wahidin datang menghampiri Sutomo yang saat itu sedang berada di STOVIA (School tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) dan mengajaknya berbincang tentang nasib pendidikan anak bangsa dan memajukan martabat bangsa melalui pendidikan. Narasi itupun diindahkan oleh Soetomo, pada akhirnya tanggal 20 Mei setelah kampanye Dr. Wahidin di kalangan para pelajar Indonesia, mereka mendirikan organisasi yang Bernama Boedi Oetomo3.

Setelah Boedi Oetomo didirikan, makin banyak bermunculan organisasi di Indonesia yang memiliki semangat yang sama namun berbeda dalam rute geraknya. Serikat Dagang Islam yang kemudian berganti nama menjadi Sarekat Islam (1912), Indische Partij (1912), Perhimpunan Indonesia (1908), Jong Java, Jong Sumatranen Bond, dan masih banyak lagi organisasi yang muncul dengan semangat nasionalisme serta untuk mengembalikan harkat dan martabat bangsa. Sejak saat itu, organisasi banyak bermunculan untuk mewadahi tujuan segolongan – segolongan orang, terutama dikalangan Mahasiswa. Singkatnya, pada fase penjajahan hingga menjelang kemerdekaan organisasi digunakan sebagai alat persatuan bangsa.4

Selanjutnya, pada era Orde Baru narasi organisasi mulai bergeser menjadi alat untuk menggkritik atau mengontrol kerja pejabat negara, akibatnya mahasiswa semakin aktif terlibat dalam politik nasional. Sering kita dengar nama – nama seperti HMI, IMM, KAMMI, KAMI, GMNI, dan PMII dll, organisasi – organisasi ini dibentuk dan secara aktif ikut andil dalam kancah politik Indonesia, tak lepas pula mereka ikut andil dalam agenda agenda pemajuan kemasyarakatan dan intelektual. Atau organisasi badan kampus yang lahir atas respon dari kebijakan NKK/BKK presiden Soeharto saat itu yakni organisasi Senat Mahasiswa.

Pada era itu, banyak terjadi pergolakan kenegaraan yang mengharuskan mahasiswa untuk secara massif terlibat secara individu maupun organisasi. Cita utama dari keterlibatan ini tidak lain adalah untuk sepenuhnya mengembalikan kemerdekaan rakyat Indonesia. Tan Malaka dalam bukunya 100 % Merdeka berpendapat bahwa “kemerdekaan 1945 bukanlah kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia” namun kemerdekaan yang hanya dirasakan oleh para pejabat negara dan orang kaya, sementara rakyat dalam kategori kelas menengah ke bawah masih banyak yang putus sekolah, masih banyak yang susah mendapatkan pekerjaan yang layak.

H.j. Jareen dalam observasinya di Jakarta tahun 1953 – 1954, 46,4% Mahasiswa berasal dari anak Profesor-Profesor, Opsir-Opsir Tentara, Pekerja-Pekerja merdeka, Industrialis-Industrialis, dan Pegawai-Pegawai tinggi. 41,5% dari anak Guru-Guru SMA & SM, Pengusaha-Pengusaha toko, Pensiunan-Pensiunan dan Bintara, dan hanya 12,1% dari anak Petani, Guru-Guru SR, Guru-Guru Sekolah-Sekolah Agama, Pegawai-Pegawai rendahan, kaum Buruh dan Tamtama. Untuk hitungan presentasi SMA, SM, aplagi SR tentu berbeda namun sama dalam hal tebal ke atas tipis ke bawah5. Data ini menunjukkan bahwa sistem kenegaraan Indonesia yang belum mapan serta lapangan kerja yang belum merata sehingga para orang tua tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya. Maka

3 Hatta M. Permulaan Pergerakan Nasional Ceramah Tanggal 22 Mei 1974 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta. Jakarta: Yayasan Idayu, 1980

4 Ibid

5

tidak aneh bilamana banyak mahasiswa saat itu memutuskan untuk memilih organisasi sebagai wadah untuk mewujudkan cita-cita mereka yang tidak bukan adalah Merdeka sepenuhnya.

Pada era presiden Soekarno, (1970-1979) menurut hasil hidungan Bank Dunia & Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dikutip oleh Dr. Nuril Huda angka pendidikan secara umum tidak mampu naik melebih 2,6% dari jumlah anak di Indonesia, dan pada tahun 1983 hanya mampu menyentuh angka 4,0-5,3%. Maka semangat organisasi mahasiswa semakin membara untuk melakukan berbagai macam perlawanan makin pecah, banyak aksi masa yang didulang langsung oleh mahasiswa pada saat itu. Di tubuh PMII sendiri, pergerakan pergerakan yang focus pada bidang intelektual, aksi masa, dan agenda kemasyarakatan lainnya sangat massif, khususnya pada era Orde baru. Salah satu contohnya adalah saat PMII merumuskan paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran, saat itu PMII memandang bahwa perlawanan tidak cukup hanya dilakukan lewat aksi masa saja, melainkan harus ditopang juga dengan cara masuk ke lini sektor masyarakat dan ikut andil dalam membangun hidup bersama di dalamnya.

Namun, seiring berkembangnya zaman, pengetahuan makin berkembang membuat sistem hidup masyarakat makin berubah, hadirnya tekhnologi merubah hidup manusia secara keseluruhan. Manusia mulai melipat jarak dan waktu dalam segala aktivitasnya yang menyebabkan hidup terasa serba cepat. Disamping kemajuan yang terjadi, banyak kebolongan-kebolongan lain yang harus diatasi dalam sektor ekonomi, pendidikan, dan sistem kenegaraan lainnya menjadi tantangan besar bagi organisasi mahasiswa yang notabene hadir untuk mengatasi hal hal tersebut. Banyak organisasi yang diambang batas kematian yang diakibatkan oleh para anggotanya tidak mampu membaca realitas dan melakukan penyesuaian. Itu terjadi di tubuh PMII khususnya PMII kota bandung. Agenda agenda yang sifatnya kemasyarakatan dan keilmuan sudah jarang sekali dilakukan, anggotanya banyak menghabiskan waktu hanya sekedar pada kritik kritik dan produksi pengetahuan yang sifatnya semata tanpa ada output Gerak yang jelas, kepedulian terhadap nasib bangsa hanya menjadi omong kosong belaka, cita-cita organisasi hanya menjadi naskah sakral yang entah kapan akan terwujud. Oleh karena kondisi tersebut, maka diperlukan tata Kelola organisasi yang baik dan relevan dengan kondisi zaman.

B. Persoalan dan Bentuk Tata Kelola Ideal

Jika dirunut sejak akhir abad ke – 19 hingga sekarang, isu Liberalisme yang lahir membawa sistem negara dalam bentuk Demokrasi banyak sekali dikaji, beberapa tokoh besar seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, dan Alasdair Maclntvre mengkritik libeeralisme karena telah membawa pandangan masyarakat yang individualistic, kapitalisme, dan hukum bebas nilai. Mereka berpandangan bahwa pandangan yang seperti ini mebuat manusia lupa akan sesamanya. Karl Marx misalnya, ia berpandangan bahwa dengan adanya pandangan kapitalistik masyarakat akhirnya terbagai bagi menjadi dua kelas, yaitu kelas atas dan kelas bawah, mereka akan selalu bertarung dalam arena kerja dalam memperebutkan kemenangan, kelas atas mempertahankan keuntungan sebanyak banyaknya sedangkan kelas bawah menuntut upah yang sesuai dengan porsi kerjanya6.

6

Selain dari tokoh – tokoh di atas, ada juga Mazhab Frankfurt yang mengkritisi budaya liberal ini. Mereka berpandangan bahwa budaya menjadi sesuatu hal yang diindustrikan, akibatnya nilai luhur suatu budaya yang lahir dari proses penciptaannya menjadi hilang karena industry membuat penciptaan budaya menjadi instan. Misalnya saja kesenian, seni menjadi indah karena dalam proses pembuatannya para seniman sangat memperhatikan faktor estetika, proses analisis, dan ketelitian dalam pembuatan karya seni sangat ditekankan, namun sejak kesenian diindustrikan karya seni bahkan bisa lahir dari tangan seseorang yang bahkan tidak mengerti karya seni itu sendiri. Selain industrialisasi budaya, mereka juga mengkritik beberapa hal yang lahir di era liberal yaitu, Homogenitas Budaya, penguatan stereotip, konsumsi pasif, komersialisasi, universalitas nilai (nilai hadir dari kesepakatan bersama). Akibatnya, mazhab Frankfurt menyebut masyarakat yang hidup di dalamnya sebagai masyarakat rendah7.

Bukan hanya itu, hadirnya tekhnologi menambah persoalan makin kompleks, memang benar bahwa hal tersebut membawa kemudahan bagi hidup manusia, banyak pekerjaan yang harusnya banyak mengeluarkan waktu dan tenaga menjadi lebih efektif dan efisien akibat hadirnya hal tersebut. Untuk sekedar berpindah dari kota ke – kota manusia tidak lagi membutuhkan waktu yang lama karena adanya kendaraan bertekhnologi canggih, manusia tidak lagi membutuhkan waktu yang lama untuk mengakses berbagai macam informasi dan pengetahuan, akibatnya proses belajar semakin dipermudah. Namun, kemudahan yang didapat juga berbanding lurus dengan kerugian yang didapatkan, dalam dunia pendidikan akibat dari kemudahan tersebut para peserta didik tidak lagi keluar untuk belajar, mereka lebih banyak menghabiskan waktu berjam-jam didalam ruangan dan menjelajahi informasi yang hadir melalui tekhnologi. Dunia luar pun menjadi asing dan seolah-olah sangat susah untuk dijalani. Padahal fungsi pendidikan tidak lain adalah mengenalkan peserta didik dengan dunia yang akan dihadapinya, lewat simulasi nyata peserta didik diajarkan untuk terbiasa dengan dunia. Demikianlah kiranya secara umu masalah yang sedang dihadapi masyarakat kita sekarang.

PMII sebagai organisasi yang mempunyai fungsi sebagai wadah untuk mendidik anggotanya seharusnya mampu merespon hal tersebut, PMII harus mampu merumuskan sistem pembelajaran (kaderisasi) yang baik agar anggotanya siap didistribusikan dalam banyak sektor masyarakat dikemudian hari sebagaimana tertera dalam AD/ART PMII bahwa PMII memiliki sifat yang salah satunya adalah kemasyarakatan. Selain itu juga, selain untuk masyarakat, PMII juga bersifat kemahasiswaan artinya PMII harus bisa ikut andil dalam setiap sektor kemahasiswaan, entah itu dalam pengembangan ilmu pengetahuan, atau agenda-agenda kemahasiswaan lainnya yang bersifat praktik.

Namun, hal tersebut susah tercapai bilamana PMII memiliki kecacatan dalam tubuhnya salah satunya adalah dalam persoalan tata kelola organisasi atau management organisasi. Menurut Koontz (1909-1984) dalam bukunya yang berjudul “Principles of Management”, “Manegement diartikan sebagai seni untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau masalah melalui dan bersama orang-orang dalam kelompok yang terorganisir dengan baik dan formal”. Artinya, bicara tentang management organisasi adalah berbicara tentang bagaimana organisasi bekerja secara terrencana dan sistematis dalam mencapai tujuannya.

Dewasa ini, PMII kota bandung khususnya mengalami stagnasi terutama psca Covid-19 (2019- sekarang) terjadi, minat mahasiswa untuk bergabung dan proses di PMII sangat kecil, mahasiswa umum

7 Srinati Dominic. Popular Culture: Pengantar Menuju Budaya Populer. Jogjakarta: Pustaka Promthea. 2020

bahkan anggotanya sekalipun lebih memilih untuk berproses di organisasi yang memiliki tujuan yang jelas dan memberi timbal balik yang nyata terhadap dirinya. Hal tersebut bukan berarti PMII tidak memiliki tujuan yang jelas atau tidak memberi timbal balik yang bemanfaat, namun jika kita menggunakan pandangan di atas sudah jelas bahwa PMII belum berhasil menemukan tata kelola atau management yang baik dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sehingga PMII terkesan sebagai organisasi yang hanya membuang buang waktu saja. Hal tersebut bisa kita lihat dalam pola keanggotaan yang selalu terulang tiap tahun ke tahun, awal pembukaan OPREC (MAPABA) mencapai 50 bahkan lebih yang mendaftar dan bergabung ke PMII, namun setelah berjalan beberapa bulan jumlah keanggotaan menurun drastis sampai 50% tidak bertahan. Hal ini harus diperhatikan secara serius mengingat bahwa organisasi tidak akan berjalan tanpa adanya anggota yang akan melanjutkan estafetanya. Apa yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi?, setidak-tidaknya kita bisa memulainya dengan membahas tata kelola organisasi.

PMII sebagai organisasi memiliki struktur yang jelas yang dimulai dari pucuk tertinggi yaitu Pengurus Besar (PB) yang mengurus dalam skala Nasional, lalu di bawahnya terdapat Pengurus Koordinator Cabang (PKC) yang mengurus dalam skala Provinsi, selanjutnya ada Pengurus Cabang (PC) yang mengurus dalam skala Kota atau Kabupaten, selanjutnya ada Pengurus Komisariat (PK) yang mengurus dalam skala kampus, selanjutnya ada Pengurus Rayon (PR) yang mengurus dalam skala Fakultas. Masing masing pengurus terhubung secara hierarki struktur yang jelas yang di mana masing masing bertanggung jawab perawatan serta pendistribusian anggota dalam locusnya masing masing. Namun kadangkala tidak berjalan sesuai rencana disebabkan hal yang sangat kompleks. Konsep terpimpin dan pemimpin tidak didefinisikan dengan baik sehingga kerja-kerja organisasi terkesan berantakan, padahal di era yang serba cepat sekarang sangat penting sekali untuk bergerak secara terorganisir.

Hal-hal yang kerap hadir dalam konteks ini diantaranya adalah :

  • perekrutan actor pengurus

Perektutan actor pengurus yang dilaksanakan secara serampangan, banyak diantara pengurus yang direkrut atas asas kedekatan atau kesamaan historis, padahal seharusnya dalam memilih atau merekrut actor yang akan menentukan laju organisasi (pengurus) haruslah dipilih sesuai dengan mempertimbangkan banyak hal semisal keahlian, keloyalan, pemahaman tentang organisasi dan banyak nilai lainnya, hingganya ketika actor memulai tugasnya ia tidak berangkat dari ruang yang kosong. Padahal Antony Giddens berpendapat bahwa struktur dan actor dua hal yang memiliki keterhubungan satu sama lain, menurutnya bahwa struktur adalah hasil buatan actor, dan actor dibentuk melalui struktur yang ada (lihat The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration). Belum lagi masuknya wacana anarkisme dan kebebasan yang salah diartikan dalam lingkup komisariat UIN membawa para pengurus pada bentuk kebebasan yang salah kaprah dalam sebuah organsasi, banyak yang menganggap bahwa keterpimpinan terhadap organisasi adalah sebuah perenggutan atas hak individu seseorang. Akibatnya, lahir padangan bahwa mengisi struktur atau tunduk pada musyawarah organisasi adalah menjadi budak organisasi. Kerja sama antar sesama pengurus pun menjadi hal yang cukup ramai terjadi yang sering menghambat jalannya roda organisasi.

Hal ini kiranya harus diperbaiki dimulai sejak penerapan aturan organisasi yang sebenar-benarnya, karena di sana hal-hal yang mengenai syarat-syarat serta pandangan umum mengenai actor struktur tertera, selanjutnya pendidikan yang memuat tentang regenarasi organisasi harus selalu diperhatikan, proporsi pendidikan terhadap anggota harus diperhatikan

sebaik mungkin agar anggota berkembang sesuai porsi dan kebutuhan individunya maupun organisasi.

Dalam AD/ART PMII anggota PMII memiliki jenjang kaderisasi yang wajib diikuti sampai tuntas, diantaranya pendidikan formal, non-formal dan informal. Pendidikan Formal diantaranya adalah MAPABA, PKD, PKL, dan PKN. Pendidikan non – formal adalah pendidikan yang diadakan dalam bentuk tambahan yang bersifat non-formal dan biasanya dilakukan sesuai locus masing masing struktur. Dua hal tersebut tidak lain dilakukan dalam upaya membina anggota agar siap diutus untuk masuk ke berbagai sektor kemasyarakatan dan kemahasiswaan. Namun, kedua hal tersebut belum cukup mengingat agenda-agenda tersebut dilakukan biasanya hanya dalam bentuk event saja. Maka darinya untuk lebih jauh menyikapi kebutuhan anggota sebagai organisatoris maupun sebagai individu maka PMII memiliki pendidikan informal yang bersifat menyehari dan bisa sefleksibel mungkin.

Tiga bentuk pendidikan di atas harus memerhatikan beberapa hal yaitu, harus memuat nilai-nilai PMII, selanjutnya adalah harus memiliki kebermanfaatan (sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dan masyarakat) untuk anggota. Maka darinya pembacaan mengenai masa depan dan masa sekarang harus selalu dilakukan agar PMII mampu menghasilkan anggota yang siap menghadapi perubahan dikemudian hari. Kemudian selanjutnya, pembagian keterfokusan pendidikan haruslah diperhatikan, segmen pengetahuan (ke-PMII-an dan ke-organisasi-an haruslah diutamakan), praktik, dan pelatihan kerja sama tim harus diperhatikan dalam segala aspek pendidikan yang dihadirkan, agar kiranya PMII tidak akan lagi kebingungan dalam memikirkan actor-actor penerus organisasi.

  • Ikut Campur Pihak Ketiga

Dalam sebuah organisasi entah yang besar ataupun yang baru jadi ikut campur pihak ketiga kerap kali terjadi, entah dari pihak luar maupun dari pihak dalam organisasi itu sendiri. Tanpa mengetahui target dan rencana yang akan dijalankan, mereka masuk dan mengacaukan segalanya. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengawasan dan ketegasan dari ketua selaku pucuk pimpinan organisasi, seorang ketua harus mampu memberi Keputusan agenda, keputusan relasi, keputusan politik, dan keputusan kekeluargaan yang tepat agar semua hal tersebut mampu membantu kelancaran tercapainya organisasi.

Dalam mengeluarkan keputusan seorang ketua tidak boleh sembarang dan terkesan terburu-buru, ia harus tau mana kawan dan mana lawan, mana yang bermanfaat, mana yang tidak, mana yang harus didahulukan dan mana yang kiranya belum dibutuhkan. Dengan pengetahuan tersebut, kiranya ketua akan mampu berani untuk mengeluarkan keputusan yang tepat agar rekan se-tim nya membangun kepercayaan terhadap dirinya. Kiranya dengan begitu, celah untuk orang luar masuk dan mengganggu kerja organisasi akan sangat minim.

  • Perencanaan

Perencanaan pada hakekatnya adalah pemilihan alternatif program, kebijaksanaan, tujuan, strategi, dan pemrograman. Inti dari perencanaan adalah pemilihan jalan yang akan ditempuh, ini merupakan prinsip utama dari perencanaan8. Perencanaan merupakan faktor paling penting dalam konteks tata kelola atau management guna mencapai tujuan organisasi. Perencanaan merupakan tindakan memilih dan menghubungkan fakta-fakta yang ada serta membuat asumsi mengenai masa depan yang diperlukan guna mendukung tercapainya tujuan. Artinya perencanaan tidak boleh dilakukan secara serampangan yang terlepas dari kondisi realitas tempat organisasi itu berada, tanpa membaca realitas, rencana hanya akan menjadi seperangkat teks yang tidak akan membawa organisasi pada tujuannya.

Dewasa ini, fakta mengenai perencanaan seringkali disepelekan, tidak banyak dari kita sekarang yang mau larut dalam membaca kenyataan yang ada guna

8 Dr. Okianna M, Si. Buku Ajar Pengantar Ilmu Management. Jawa Tengah: Eureka Media Aksara, 2021

mengumpulkan fakta untuk menyempurnakan perencanaan. Perencanaan sudah dianggap sebagai wacana yang juga disalah artikan maknanya, akibatnya keputusan tindakan yang diambil terkesan responsive dan tidak jangka panjang. Program-program yang dipilih tidak memiliki keterhubungan satu sama lain sehingga ketika program yang satu telah selesai dan ingin memulai program yang baru seolah-olah memulai kembali dari nol.

Padahal seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa perencanaan yang ideal adalah rencana yang hadir setelah terjadinya pengumpulan fakta-fakta dan membaca asumsi masa depan, serta keputusan jalan yang akan ditempuh harus memiliki keterhubungan sehingga mampu membuka jalan untuk mensiasati situasi dikemudian hari.

  • Pengorganisasian

Marry Parker Follet (1868-1933) seorang tokoh sosial amerika mendefinisakan Pengorganisasian adalah proses mengoordinasikan tindakan manusia secara kolektif, di mana keputusan bukan berdasarkan hierarki kaku, melainkan hukum situasi (law of the situation)—yaitu berdasarkan kebutuhan dan konteks suatu situasi, bukan posisi jabatan, yaitu ketua memberi kuasa putusannya pada skema musyawarah di mana semua orang di dalam organisasi berhak menyampaikan pendapatnya untuk memutuskan satu tindakan atau tujuan sesuai situasi yang ada. Proses ini menekankan pelibatan semua elemen yang ada dalam organisasi. Dia memperkenalkan konsep “power-with” (berkekuasaan bersama) sebagai alternatif dari “power-over” (kekuasaan atas), yang mendorong organisasi yang saling bergantung dan participative9.

Dengan begitu konflik akan sangat diminamilisr karena semua elemen telah menyampaikan pendapatnya, namun hal ini bukan berkompromi, ketua sebagai pucuk tertinggi dalam organisasi tetap memiliki kewenangan tertinggi. Konsep ini lebih kepada integrasi kepentingan, bukan kompromi, sehingga solusi yang diambil memuaskan semua pihak yang terlibat.

Meskipun Marry tidak menulis rincian langkah-langkah pengorganisasian seperti buku-buku teks management modern, namun dari gagasannya kita bisa melihat langkah langkah pengorganisasian diantaranya:

  • Analisis situasi spesifik: pahami konteks dan tuntutan pekerjaan, bukan menyalin struktur yang sama.
    • Keterlibatan semua pihak: adakan diskusi kolektif untuk mempelajari situasi dan menentukan solusi bersama (co-creation).
    • Penetapan wewenang berdasarkan keahlian fungsi: delegasi tugas dan keputusan kepada orang yang paling memiliki kapasitas untuk menyelesaikannya, bukan berdasarkan jabatan formal.
    • Koordinasi aktif dan terus-menerus: dengan kontak langsung, keterlibatan sejak awal, dan pemahaman timbal balik antar bagian organisasi.
    • Penyelesaian konflik dengan integrasi: cari solusi yang memenuhi kebutuhan semua pihak, bukan solusi dua pihak (integrasi kepentingan).

9 Follett Mary Parker. The New State: Group Organization the Solution of Popular Government. The Pennsylvania State University Press: Amerika Serikat, 1998.

Adapun prinsip-prinsip yang mary tekankan dalam gagasannya guna mendukung keharmonisan pengorganisiran adalah:

  • Law of the Situation – otoritas dihasilkan oleh tuntutan situasi, bukan hierarki jabatan.
    • Power-With (Berkekuasaan Bersama) – kolaborasi antar anggota organisasi sebagai basis kekuasaan.
    • Integrative Conflict Resolution – konflik diselesaikan dengan mengintegrasikan kepentingan bersama, bukan kompromi sepihak.
    • Partisipasi dan Keterlibatan –    tiap anggota terlibat dalam pengambilan keputusan, meningkatkan kepemilikan dan komitmen.
    • Koordinasi Aktif Berkesinambungan – komunikasi langsung antar tim dan koordinasi sejak tahap awal kebijakan.
    • Kontrol berbasis Fakta dan Fungsi – kontrol dan otoritas bergantung pada fungsi dan hasil, bukan pengawasan individu.

Gagasan yang diajukan mary mengenai pengorganisasian ini cukup efektif di era sekarang, mengingat kompleksitas masalah yang hadir serta percepatan yang terjadi sangat dibutuhkan fleksibilitas dan pemanfaatan SDM yang ada dalam organisasi, lihai dalam membaca modal yang dimiliki merupakan keahlian penting yang harus dimiliki.

C. Kesimpulan

Organisasi adalah wadah efektif untuk dua atau lebih orang berkumpul dan bergerak Bersama mencapai tujuannya. Di dalamnya terdapat aturan yang mengikat, dan pembagian kerja yang terstruktur. Maka diperlukan tata kelola yang canggih agar organisasi mampu mencapai tujuannya.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *